Bencana letusan Gunung Merapi tidak hanya memakan korban jiwa meninggal dunia tetapi juga memakan korban kejiwaan para pengungsi. BNPB juga mencatat hingga kemarin total jumlah pengungsi sebanyak 279.702 jiwa. Jumlah pengungsi terbesar dilaporkan di Kabupaten Magelang yakni 91 ribu jiwa. “Kami terus melakukan inventarisasi. Apalagi jumlah pengungsi juga terus bertambah,” kata Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Sutrisno, Magelang, kemarin.
Menurut dia, sebagian kondisi pengungsi labil dan tertekan di tempat pengungsian. Bahkan, belum genap dua minggu tinggal, sebanyak 27 pengungsi sudah dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof Dr Soerodjo Kota Magelang. Mereka diindikasikan mengalami stres dan trauma berat paska erupsi eksplosif Merapi.
Harta benda habis, bahkan banyak keluarga meninggal dunia karena tak sempat menyelamatkan diri
Lalu data yang diperoleh dari Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Soejarwadi, Klaten, tercatat 19 orang pengungsi masuk dalam kategori gangguan jiwa berat. Jadi total pengungsi yang “gila” sementara ini ada 46 orang (dari Magelang-Klaten). “Ada yang menjalani perawatan di RSJD ini ada juga yang dirawat mandiri oleh keluarganya,” ujar Direktur Utama RSJD Soejarwadi Endro Supriyanto, kemarin (11/11).
Kepala Pelaksana Harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah Priyantono Djarot Nugroho mengatakan, mereka mengalami trauma akibat kehilangan orang yang dicintai maupun akibat hancurnya rumah dan sawah yang menjadi mata pencaharian selama ini. “Banyak yang harus kehilangan seluruh harta bendanya,” ujar Djarot.
Kondisi di pengungsian yang tak layak menambah tekanan jiwa semakin berat
Dengan kondisi Merapi yang masih fluktuatif hingga kemarin, diperkirakan jumlah pengungsi yang mengalami stres akan bertambah banyak. Apalagi hingga saat ini belum diketahui kapan aktivitas tinggi gunung itu akan berhenti. “Semakin lama tinggal di lokasi pengungsian akan semakin banyak pengungsi yang stress,” jelasnya.
Direktur medik dan keperawatan RSJ Prof Dr Soeroyo, dr Nur Dwi Esti SPkj mengatakan, pihaknya akan melakukan perawatan intensif kepada para korban. Bahkan, secara khusus mereka akan diberikan terapi stimulus positif sampai mereka bisa melupakan segala kejadian yang membuat tertekan. “Sementara ini pengungsi yang dirujuk ke sini (RSJ-red) akan berada di bangsal khusus, setelah satu minggu mereka baru bisa dipindah di bangsal penenangan,” lanjutnya.
Berdasarkan hasil observasi dan pendampingan yang di lakukan pihaknya menyimpulkan, sebagian besar pengungsi mengalami tekanan psikologis akibat bencana gunung Merapi tersebut. Dari sampel 50 orang pengungsi yang diklasifikasi berdasarkan umur, 60 persen memerlukan terapi psikologi.” “Kami berharap diturunkan relawan untuk membantu mengurangi beban mental para pengungsi sebelum pulang,” tuturnya.
Mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa merupakan jalan terbaik untuk memasrahkan keadaan yang dihadapi
Di sisi lain, kemarin ribuan pengungsi dilaporkan mulai kembali ke rumah masing-masing kemarin. Selain merasa jenuh, mereka juga menilai kondisi sudah aman sehingga memutuskan untuk pulang. Pengungsi pulang ini tidak hanya yang berada di wilayah Magelang, namun juga yang ada di Kota Boyolali.
Bahkan dari total pengungsi di Boyolali yang mencapai 66.993 jiwa, sekitar 30 persennya sudah pulang. Langkah pengungsi ini sebetulnya tidak atas kehendak pemkab. Sebab, situasi puncak Merapi masih dalam kondisi bahaya. “Mungkin mereka sudah jenuh dan kebanyakan memang dari daerah di luar kawasan rawan bencana (KRB),” kata Asisten III Setda Boyolali yang sekaligus koordinator penanggulangan bencana Merapi, Syamsudin.
Para pengungsi yang pulang tersebut di antaranya yakni dari Desa Bakulan, Kembang Kuning, Bibis Kecamatan Cepogo. Desa Tampir Kecamatan Musuk, dan Jelok, Kecamatan Cepogo. Reso Waluyo, 46, warga Kembang Kuning, Cepogo, menuturkan dia memilih pulang karena kondisi sudah aman dan untuk mengurusi ternak yang ditinggal. “Sebenarnya sudah dari kemarin ingin pulang, tapi baru bisa hari ini bersama-sama yang lain,” tutur dia.
Penanggung Jawab Pos Induk Satkorlak PB Klaten Joko Rukminto mengatakan, jumlah pengungsi belum valid karena pergerakan mereka masih terus terjadi setiap saat. “Kondisi inilah yang membuat petugas di lapangan kesulitan untuk mendata jumlah pengungsi di Pos Pengungsian. Misal untuk satu pos jika didatangi siang hari jumlahnya 100 jiwa, namun pada malam hari jumlahnya bisa mencapai 500 jiwa,?ujarnya.
Temuan tersebut menjadi masalah dalam pendistribusian logistik dari Pos Induk ke pos pengungsian yang tersebar di lebih dari 200 titik. Karena jumlah makanan yang didistribusikan kadang tidak sesuai dengan jumlah pengungsi. “Setiap hari harus dievaluasi untuk mendapatkan jumlah pasti pengungsi. Harus kembali dicek satu per satu di pos pengungsian,” tambahnya.
Masih seringnya pengungsi yang kembali ke rumah menjadi salah satu masalah yang belum dapat ditemukan solusinya oleh Satkorlak PB. Karena pengungsi tidak lapor kepada koordinator pos pengungsian. Laporan yang dating dari kecamatan yang ada titik – titik pengungsian juga sering berubah. Sehingga Pos Induk harus menyesuaikan dengan data terbaru dari lapangan..Faktor inilah yang membuat data selalu berubah dalam hitungan jam.
Plt Sekretaris Daerah (Sekda) Klaten Edi Hartanto mengatakan, pendataan jumlah pengungsi menjadi faktor penting untuk kelancaran distribusi barang. Karena jumlah logistik yang akan dibagikan tentu harus disesuaikan dengan jumlah pengungsi di setiap pos pengungsian.
“Kami berharap satkorlak benar-benar serius dalam mendata jumlah pengungsi ini. Yang perlu diperhatikan adalah pergerakan pengungsi dari satu titik ke titik lain. Atau mereka yang meninggalkan tempat pengungsian untuk pulang ke rumah,” ujarnya. (sumber)
0 komentar:
Post a Comment